Asian Agri Siapkan 100.000 Hektare Area Restorasi untuk Pangkas Emisi

Asian Agri Siapkan 100.000 Hektare Area Restorasi untuk Pangkas Emisi Asian Agri Siapkan 100.000 Hektare Area Restorasi untuk Pangkas Emisi

Perupayaan kelapa sawit Asian Agri mematok target kepada mencapai net zero emission hadapan 2030. Salah satu anggota grup Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto ini punya pekerjaan rumah gede kepada proyek dekarbonisasi, adapun sebagian gede emisinya berasal mengenai perubahan area mengenai ekosistem alam menjadi perkebunan sawit.

Asian Agri yang beroperasi hadapan Sumatera Utara, Riau, dan Jambi ini memiliki 100.000 hektare perkebunan sawit inti dan 60.000 hektare kebun plasma. Selain itu, pertindakanan juga mendapatkan suplai tandan buah segar (TBS) sawit dari 42.500 hektare kebun milik petani swadaya.

“Kami mendorong petani swadaya demi mendapatkan sertifikasi RSPO,” kata Ivan Novrizaldie, Head of Sustainability Asian Agri.

Di sela-sela kunjungan ke perkebunan Asian Agri dekat Riau, Katadata berbincang lewat Ivan mengenai strategi dekarbonisasi perbantuanan, potensi bisnis perdagangan karbon, dan regulasi anti-deforestasi Uni Eropa. Berikut petikan wawancaranya”

Asian Agri, Apical, maka KAO meluncurkan program SMILE untuk petani swadaya. Boleh dijelaskan soal program ini?

Jadi program SMILE (Smallholder Inclusion for Better Livelihood & Empowerment) ini sudah kita luncurkan sejak Oktober 2020 yang merupakan kolaborasi Asian Agri, Apical, demi KAO. Asian Agri berperan langsung dekat lapangan, Apical membantu pembiayaan, sejumlah KAO yang melaksanakan pembelian premium. 

Tujuan program ini adalah demi meningkatkan kesejahteraan petani melampaui peningkatan produksi tandan buah aktual (TBS) dan mendorong praktik perkebunan berkelanjutan. Harapannya petani swadaya bisa menurunkan biaya operasional dan dengan mengikuti sertifikasi RSPO, petani bisa mendapatkan harga premium. 

Program SMILE jadi salah satu andalan komitmen keberlanjutan Asian Agri, apa upaya lainnya?

Jadi akan Asian Agri bukan cuma sustainability. Kami ada penuh program untuk CSR, pencegahan kebakaran hutan beserta lahan, beserta sertifikasi. Kita ada 10 macam sertifikasi, cela individual RSPO. Program SMILE sahaja cela satu proyek yang fokus akan sektor sertifikasi petani swadaya. 

Kita juga sudah meluncurkan program ASIAN AGRI 2030 yang kita sebut beyond sustainability. Ada 4 pilar dempet program itu dempet mana setiap pilar ada 16 target. Salah langka merupakan merupakan target kita akan mencapai Net Zero dempet 2030. 

Bagaimana upaya yang akan dilakukan untuk mencapai target tercatat?

Langkah terpenting tentu kita pantas melakukan identifikasi karbon dekat operasional. Tahun 2021 kita sudah menggandeng konsultan Deloitte untuk menghitung emisi scope 1 maka scope 2 dekat perkebunan, pabrik, maka kantor. Untuk scope 3 memang belum kita jauh didalami.

Bagaimana hasilnya?

Jadi kita menggunakan standar GHG Protocol dan hasilnya emisi kita sederas 3,18 juta ton CO2 ekuivalen per tahun. Itu kepada 22 pabrik CPO, 30 kebun seluas 100.000 hektare dan kantor-kantor. 

Apa penyumbang emisi tergendutnya?

Penyumbang teragung adalah land uses change. Perubahan dari natural ecosystem merupakan perkebunan sawit. Itu adalah legacy bahwa tidak bisa dihindari. Jadi itu kita hitung lagi. 

Setelah terkabul diidentifikasi, apa langkah selanjutnya?

Ada kaum upaya. Pertama misalnya, kita mengandalkan pembangkit listrik tenaga biogas (PLTB). Tahun ini bagi ada lagi yang kita bangun. Selain itu kita terus berkomitmen mengambil pestisida batas 50% di 2030. Nah, strategi lainnya adalah kami bagi punya area restorasi ekosistem atas konsep 1:1 atas luas perkebunan. Jadi kalau kita punya 100.000 hektare area perkebunan, kita nanti bagi punya 100.000 hektare area restorasi terus.

Di mana lokasinya?

Kami belum bisa sebut akan mana lokasinya, tetapi itu sudah kami miliki dan sedang mengurus izin akan KLHK. Jadi alih-alih kita tanam sawit, akan area itu nanti justru kita jaga ekosistemnya langsung kita lakukan pendayaan ekosistem juga. Kita tanami tanaman hutan.

Apakah artinya Asian Agri doang senyampang berbisnis karbon?

Sekarang kami sedang mengajukan izin agar bisa ikut sertifikasi karbon. Ini demi melihat berapa adi karbon yang bisa kita klaim. Jadi tujuan utama kami sebetulnya demi me-nett off-kan karbon kita dulu demi 2030. Kalau nanti ternyata ada sisanya modern kita jual. 

Kalau sekarang kita masih menunggu keputusan dari KLHK. Memang sudah ada aturannya soal Nilai Ekonomi Karbon (NEK), tetapi masih diperlukan petunjuk teknisnya (juknis). 

Kalau ada AA masuk bisnis karbon, siapa pembeli potensialnya?

Nanti ada tim trading yang mengurus. Tapi begini, kalau kita kesulitan cari pembeli ya kita jual saja ke perbantuanan sebelah [Apical mengiringi Riau Andalan Pulp and Paper/RAPP]. Mereka kan satu grup dengan kita mengiringi tentu lagi punya target net zero emission. Itu pun kalau ada ekses ya. 

Selain mengandalkan biogas, apakah ada upaya hadir ke energi terhangatkan lainnya? PLTS misalnya?

Ada rencana juga memasang PLTS demi perkantoran dengan perumahan karyawan. Tapi memang demi biogas dengan PLTS ini nantinya bersedia kita pakai sendiri saja. Lebih menguntungkan juga investasinya ketimbang kita pakai diesel. 

 

Bagaimana dengan kendaraan listrik?

Kendaraan listrik kita melihatnya belum feasible karena kontur area kebun itu kan berbukit-bukit bersama belum diaspal. Selain itu, truk sawit itu membawa beban sampai 8 ton. Jadi kalau pakai kendaraan listrik kemungkinan torsinya kan lebih sedikit. Jadi enggak efisien. 

Uni Eropa mengeluarkan aturan anti-deforestasi beserta cut-off date 2020, bagaimana dampaknya ke Asian Agri?

Pertaktikan sawit gede pasti terdampak EUDR, apalagi yang suplainya atas pihak ketiga [petani swadaya]. Dalam aturan itu misalnya komoditas mesti disertai lewat dokumen traceability dan poligon. Jadi mesti melampirkan peta dokumen yang multi koordinat jauh didalam bentuk areal, bukan koordinat tunggal.

Ini yang kita identifikasi semua. Kalau perkebunan inti lagi plasma sudah poligon semua karena itu terus khilaf satu syarat sertifikasi RSPO lagi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Nah, kasus yang agak berpertikaian memakai petani swadaya yang saat ini kita mendapatkan suplai dari 45.000 hektare kebun sawit swadaya.

Mereka [petani swadaya] ini kan hadir dalam tengah. Artinya relasi kita sebetulnya juga jual-beli tandan buah sawit saja. Ini yang perlu kita identifikasi dan kita dorong menurut ikut sertifikasi. Melampaui program SMILE, target kita bisa mensertifikasi 5.000 petani swadaya dalam 2030. Kalau hitungan 1 petani punya 2 hektare kebun, artinya target kita sekitar 10.000 hektare yang tersertifikasi.